Posted by : Unknown
Rabu, 04 Juli 2018
Usia Bu Harjono sebenarnya tidak muda lagi. Mungkin menjelang 50
tahun. Sebab suaminya, Pak Harjono yang menjabat Ketua RT di kampungku,
sebentar lagi memasuki masa pensiun. Aku mengetahui itu karena
hubunganku dengan keluarga Pak Harjono cukup dekat. Maklum sebagai
tenaga muda aku sering diminta Pak Harjono untuk membantu berbagai
urusan yang berkaitan dengan kegiatan RT.
Namun berbeda dengan
suaminya yang sering sakit-sakitan, sosok istrinya wanita beranak yang
kini menetap di luar Jawa mengikuti tugas sang suami itu, jauh
berkebalikan. Kendati usianya hampir memasuki kepala lima, Bu Har
(begitu biasanya aku dan warga lain memanggil) sebagai wanita belum
kehilangan daya tariknya. Memang beberapa kerutan mulai nampak di
wajahnya. Tetapi buah dadanya, pinggul dan pantatnya, sungguh masih
mengundang pesona. Aku dapat mengatakan ini karena belakangan terlibat
perselingkuhan panjang dengan wanita berpostur tinggi besar
tersebut.Kisahnya berawal ketika Pak Harjono mendadak menderita sakit
cukup serius. Ia masuk rumah sakit dalam keadaan koma dan bahkan
berhari-hari harus berada di ruang ICU (Intensive Care Unit) sebuah RS
pemerintah di kotaku. Karena ia tidak memiliki anggota keluarga yang
lain sementara putri satu-satunya berada di luar Jawa, aku diminta Bu
Har untuk membantu menemaninya selama suaminya berada di RS menjalani
perawatan.
Agen Judi Online - Dan aku tidak bisa menolak karena memang masih menganggur
setamat SMA setahun lalu.
“Kami bapak-bapak di lingkungan RT
memita Mas Rido mau membantu sepenuhnya keluarga Pak Harjono yang sedang
tertimpa musibah. Khususnya untuk membantu dan menemani Bu Har selama
di rumah sakit. Mau kan Mas Rido,?” Begitu kata beberapa anggota arisan
bapak-bapak kepadaku saat menengok ke rumah sakit. Bahkan Pak Nandang,
seorang warga yang dikenal dermawan secara diam-diam menyelipkan uang Rp
100 ribu di kantong celanaku yang katanya untuk membeli rokok agar
tidak menyusahkan Bu Har. Dan aku tidak bisa menolak karena memang Bu
Har sendiri telah memintaku untuk menemaninya.
Hari-hari pertama
mendampingi Bu Har merawat suaminya di RS aku dibuat sibuk. Harus
mondar-mandir menebus obat atau membeli berbagai keperluan lain yang
dibutuhkan. bahkan kulihat wanita itu tak sempat mandi dan sangat
kelelahan. Mungkin karena tegang suaminya tak kunjung siuman dari
kondisi komanya. Menurut dokter yang memeriksa, kondisi Pak Harjono yang
memburuk diduga akibat penyakit radang lambung akut yang diderita. Maka
akibat komplikasi dengan penyakit diabetis yang diidapnya cukup lama,
daya tahan tubuhnya menjadi melemah.
Menyadari penyakit yang
diderita tersebut, yang kata dokter proses penyembuhannya dapat memakan
waktu cukup lama, berkali-kali aku meminta Bu Har untuk bersabar.
“Sudahlah bu, ibu pulang dulu untuk mandi atau beristirahat. Sudah dua
hari saya lihat ibu tidak sempat mandi. Biar saya yang di sini menunggui
Pak Har,” kataku menenangkan.
Saranku rupanya mengena dan
diterima. Maka siang itu, ketika serombongan temannya dari tempatnya
mengajar di sebuah SLTP membesuk (oh ya Bu Har berprofesi sebagai guru
sedang Pak Har karyawan sebuah instansi pemerintah), ia meminta para
pembesuk untuk menunggui suaminya. “Saya mau pulang dulu sebentar untuk
mandi diantar Nak Rido. Sudah dua hari saya tidak sempat mandi,” katanya
kepada rekan-rekannya.
Dengan sepeda motor milik Pak Har yang
sengaja dibawa untuk memudahkan aku kemana-mana saat diminta tolong oleh
keluarga itu, aku pulang memboncengkan Bu Har. Tetapi di perjalanan
dadaku sempat berdesir. Gara-gara mengerem mendadak motor yang
kukendarai karena nyaris menabrak becak, tubuh wanita yang kubonceng
tertolak ke depan. Akibatnya di samping pahaku tercengkeram tangan Bu
Har yang terkaget akibat kejadian tak terduga itu, punggungku terasa
tertumbuk benda empuk. Tertumbuk buah dadanya yang kuyakini ukurannya
cukup besar.
Ah, pikiran nakalku jadi mulai liar. Sambil
berkonsentrasi dengan sepeda motor yang kukendarai, pikiranku berkelana
dan mengkira-kira membayangkan seberapa besar buah dada milik wanita
yang memboncengku. Pikiran kotor yang semestinya tidak boleh timbul
mengingat suaminya adalah seorang yang kuhormati sebagai Ketua RT di
kampungku. Pikiran nyeleneh itu muncul, mungkin karena aku memang sudah
tidak perjaka lagi. Aku pernah berhubungan seks dengan seorang WTS
kendati hanya satu kali. Hal itu dilakukan dengan beberapa teman SMA
saat usai pengumuman hasil Ebtanas.
Setelah mengantar Bu Har ke
rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahku, aku pamit pulang
mengambil sarung dan baju untuk ganti. “Jangan lama-lama nak Rido, ibu
cuma sebentar kok mandinya. Lagian kasihan teman-teman ibu yang menunggu
di rumah sakit,” katanya.
Dan sesuai yang dipesannya, aku segera
kembali ke rumah Pak Har setelah mengambil sarung dan baju. Langsung
masuk ke ruang dalam rumah Pak Har. Ternyata, di meja makan telah
tersedia segelas kopi panas dan beberapa potong kue di piring kecil. Dan
mengetahui aku yang datang, terdengar suara Bu Har menyuruhku untuk
menikmati hidangan yang disediakan. “Maaf Nak Rido, ibu masih mandi.
Sebentar lagi selesai,” suaranya terdengar dari kamar mandi di bagian
belakang.
Tidak terlalu lama menunggu, Ia keluar dari kamar mandi
dan langsung menuju ke kamarnya lewat di dekat ruang makan tempatku
minum kopi dan makan kue. Saat itu ia hanya melilitkan handuk yang
berukuran tidak terlalu besar untuk menutupi tubuhnya yang basah. Tak
urung, kendati sepintas, aku sempat disuguhi pemandangan yang
mendebarkan. Betapa tidak, karena handuk mandinya tak cukup besar dan
lebar, maka tidak cukup sempurna untuk dapat menutupi ketelanjangan
tubuhnya.
Ah,.. benar seperti dugaanku, buah dada Bu Har memang
berukuran besar. Bahkan terlihat nyaris memberontak keluar dari handuk
yang melilitnya. Bu Har nampaknya mengikat sekuatnya belitan handuk yang
dikenakanannya tepat di bagian dadanya. Sementara di bagian bawah,
karena handuk hanya mampu menutup persis di bawah pangkal paha, kaki
panjang wanita itu sampai ke pangkalnya sempat menarik tatap mataku.
Bahkan ketika ia hendak masuk ke kamarnya, dari bagian belakang terlihat
mengintip buah pantatnya. Pantat besar itu bergoyang-goyang dan sangat
mengundang saat ia melangkah. Dan ah, .. yang tak kalah syur, ia tidak
mengenakan celana dalam.
Bicara ukuran buah dadanya, mungkin untuk
membungkusnya diperlukan Bra ukuran 38 atau lebih. Sebagai wanita yang
telah berumur, pinggangnya memang tidak seramping gadis remaja. Tetapi
pinggulnya yang membesar sampai ke pantatnya terlihat membentuk lekukan
menawan dan sedap dipandang. Apalagi kaki belalang dengan paha putih
mulus miliknya itu, sungguh masih menyimpan magnit. Maka degup jantungku
menjadi kian kencang terpacu melihat bagian-bagian indah milik Bu Har.
Sayang cuma sekilas, begitu aku membatin.
Tetapi ternyata tidak.
Kesempatan kembali terulang. Belum hilang debaran dadaku, ia kembali
keluar dari kamar dan masih belum mengganti handuknya dengan pakaian.
Tanpa mempedulikan aku yang tengah duduk terbengong, ia berjalan
mendekati almari di dekat tempatku duduk. Di sana ia mengambil beberapa
barang yang diperlukan. Bahkan beberapa kali ia harus membungkukkan
badan karena sulitnya barang yang dicari (seperti ia sengaja melakukan
hal ini).
Tak urung, kembali aku disuguhi tontonan yang tak kalah
mendebarkan. Dalam jarak yang cukup dekat, saat ia membungkuk, terlihat
jelas mulusnya sepasang paha Bu Har sampai ke pangkalnya. Paha yang
sempurna, putih mulus dan tampak masih kencang. Dan ketika ia membungkuk
cukup lama, pantat besarnya jadi sasaran tatap mataku. Kemaluannya juga
terlihat sedikit mengintip dari celah pangkal pahanya. Perasaanku
menjadi tidak karuan dan badanku terasa panas dingin dibuatnya.
Apakah
Bu Har menganggap aku masih pemuda ingusan? Hingga ia tidak merasa
canggung berpakaian seronok di hadapanku? Atau ia menganggap dirinya
sudah terlalu tua hingga mengira bagian-bagian tubuhnya tidak lagi
mengundang gairah seorang laki-laki apalagi laki-laki muda sepertiku?
Atau malah ia sengaja memamerkannya agar gairahku terpancing?
Pertanyaan-pertanyaan itu serasa berkecamuk dalam hatiku. Bahkan terus
berlanjut ketika kami kembali berboncengan menuju rumah sakit.
Dan
yang pasti, sejak saat itu perhatianku kepada Bu Har berubah total. Aku
menjadi sering mencuri-curi pandang untuk dapat menatapi bagian-bagian
tubuhnya yang kuanggap masih aduhai. Apalagi setelah mandi dan berganti
pakaian, kulihat ia mengenakan celana dan kaos lengan panjang ketat yang
seperti hendak mencetak tubuhnya. Gairahku jadi kian terbakar kendati
tetap kupendam dalam-dalam. Dan perubahan yang lain, aku sering
mengajaknya berbincang tentang apa saja di samping selalu sigap
mengerjakan setiap ia membutuhkan bantuan. Hingga hubungan kami semakin
akrab dari waktu ke waktu.
Sampai suatu malam, memasuki hari
kelima kami berada di rumah sakit, saat itu hujan terus mengguyur sejak
sore hari. Maka orang-orang yang menunggui pasien yang dirawat di ruang
ICU, sejak sore telah mengkapling-kapling teras luar bangunan ICU.
Maklum, di malam hari penunggu tidak boleh memasuki bagian dalam ruang
ICU. Dan pasien biasanya memanfaatkan teras yang ada untuk tiduran atau
duduk mengobrol. Dan malam itu, karena guyuran hujan, lahan untuk tidur
jadi menyempit karena pada beberapa bagian tempias oleh air hujan.
Sementara aku dan Bu Har yang baru mencari kapling setelah makan malam
di kantin, menjadi tidak kebagian tempat.
Setelah mencari cukup
lama, akhirnya aku mengusulkan untuk menggelar tikar dan karpet di dekat
bangunan kamar mayat. Aku mengusulkan itu karena jaraknya masih cukup
dekat dengan ruang ICU dan itu satu-satunya tempat yang memungkinkan
untuk berteduh kendati cukup gelap karena tidak ada penerangan di sana.
Awalnya Bu Har menolak, karena posisinya di dekat kamar mayat. Namun
akhirnya ia menyerah setelah mengetahui tidak ada tempat yang lain dan
aku menyatakan siap berjaga sepanjang malam.
“Janji ya Rid
(setelah cukup akrab Bu Har tidak mengembel-embeli sebutan Nak di depan
nama panggilanku), kamu harus bangunkan ibu kalau mau kencing atau beli
rokok. Soalnya ibu takut ditinggal sendirian,” katanya.
“Wah, persediaan rokokku lebih dari cukup kok bu. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi,” jawabku.
Nyaman juga ternyata menempati kapling dekat kamar mayat. Bisa terbebas
dari lalu-lalang orang hingga bisa beristirahat cukup tenang. Dan
kendati gelap tanpa penerangan, bisa terbebas dari cipratan air hujan
karena tempat kami menggelar tikar dan karpet terlindung oleh tembok
setinggi sekitar setengah meter. Sambil tiduran agak merapat karena
sempitnya ruang yang ada, Bu Har mengajakku ngobrol tentang banyak hal.
Dari soal kerinduannya pada Dewi, anaknya yang hanya bisa pulang setahun
sekali saat lebaran sampai ke soal penyakit yang diderita Pak Harjono.
Menurut Bu Har penyakit diabetis itu diderita suaminya sejak delapan
tahun lalu. Dan karena penyakit itulah penyakit radang lambung yang
datang belakangan menjadi sulit disembuhkan.
“Katanya penyakit diabetes bisa menjadikan laki-laki jadi impotensi ya Bu?”
“Kata siapa, Rid?”
“Eh,.. anu, kata artikel di sebuah koran,” jawabku agak tergagap.
Aku merasa tidak enak berkomentar seperti itu terhadap penyakit yang diderita suami Bu Har.
“Rupanya kamu gemar membaca ya. Benar kok itu, makanya penyakit kencing
manis di samping menyiksa suami yang mengidapnya juga berpengaruh pada
istrinya. Untung ibu sudah tua,” ujarnya lirih.
Merasa tidak enak topik perbincangan itu dapat membangkitkan kesedihan
Bu Har, akhirnya aku memilih diam. Dan aku yang tadinya tiduran dalam
posisi telentang, setelah rokok yang kuhisap kubuang, mengubah posisi
tidur memunggungi wanita itu. Sebab kendati sangat senang bersentuhan
tubuh dengan wanita itu, aku tidak mau dianggap kurang ajar. Sebab aku
tidak tahu secara pasti jalan pikiran Bu Har yang sebenarnya. Tetapi
baru saja aku mengubah posisi tidur, tangan Bu Har terasa mencolek
pinggangku.
“Tidurmu jangan memunggungi begitu. Menghadap ke sini, ibu takut,” katanya lirih.
Aku kembali ke posisi semula, tidur telentang. Namun karena posisi tidur
Bu Har kelewat merapat, maka saat berbalik posisi tanpa sengaja
lenganku menyenggol buah dada wanita itu. Memang belum menyentuh secara
langsung karena ia mengenakan daster dan selimut yang menutupi tubuhnya.
Malangnya, Bu Har bukannya menjauh atau merenggangkan tubuh, tetapi
malah semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Seperti anak kecil yang
ketakutan saat tidur dan mencari perasaan aman pada ibunya.
Akhirnya,
dengan keberanian yang kupaksakan – karena ku yakin saat itu Bu Har
belum pulas tertidur – aku mulai mencoba-coba. Seperti yang dimauinya,
aku mengubah kembali posisi tidur miring menghadapinya. Jadilah sebagian
besar tubuhku merapat ketat ke tubuhnya hingga terasa kehangatan mulai
menjalari tubuhku. Sampai di situ aku berbuat seolah-olah telah mulai
lelap tertidur sambil menunggu reaksinya.
Reaksinya, Bu Har
terbangkit dan menarik selimut yang dikenakannya. Selimut besar dan
tebal itu ditariknya untuk dibentangkan sekaligus menutupi tubuhku.
Jadilah tubuh
kami makin berhimpitan di bawah satu selimut.
Akhirnya, ketika aku nekad meremas telapak tangannya dan ia membalas
dengan remasan lembut, aku jadi mulai berani beraksi lebih jauh.
Kumulai
dengan menjalari pahanya dari luar daster yang dikenakannya dengan
telapak tanganku. Ia menggelinjang, tetapi tidak menolakkan tanganku
yang mulai nakal itu. Malah posisi kakinya mulai direnggangkan yang
memudahkanku menarik ke atas bagian bawah dasternya. Baru ketika usapan
tanganku mulai menjelajah langsung pada kedua pahanya, kuketahui secara
pasti ia tidak menolaknya. Tanganku malah dibimbingnya untuk menyentuh
kemaluannya yang masih tertutup celana dalam.
Seperti keinginanku
dan juga keinginannya, telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap
bagian membusung yang ada di selangkangan wanita itu. Ia mendesah lirih
saat usapan tanganku cukup lama bermain di sana. Juga saat tanganku yang
lain mulai meremasi buah dadanya dari bagian luar Bra dan dasternya.
Sampai akhirnya, ketika tanganku yang beroperasi di bagian bawah telah
berhasil menyelinap ke bagian samping celana dalam dan berhasil
mencolek-colek celah kemaluannya yang banyak ditumbuhi rambut, dia
dengan suka rela memereteli sendiri kancing bagian depan dasternya. Lalu
seperti wanita yang hendak menyusui bayinya, dikeluarkannya payudaranya
dari Bra yang membungkusnya.
Layaknya bayi yang tengah kelaparan
mulutku segera menyerbu puting susu sebelah kiri milik Bu Har.
Kujilat-jilat dan kukulum pentilnya yang terasa mencuat dan mengeras di
mulutku. Bahkan karena gemas, sesekali kubenamkan wajahku ke kedua
payudara wanita itu. Payudara berukuran besar dan agak mengendur namun
masih menyisakan kehangatan.
Sementara Ia sendiri, sambil terus
mendesis dan melenguh nikmat oleh segala gerakan yang kulakukan, mulai
asyik dengan mainannya. Setelah berhasil menyelinap ke balik celana
pendek yang kukenakan, tangannya mulai meremas dan meremas penisku yang
memang telah mengeras. Kata teman-temanku, senjataku tergolong long
size, hingga Ia nampak keasyikkan dengan temuannya itu. Tetapi ketika
aku hendak menarik celana dalamnya, tubuhnya terasa menyentak dan kedua
pahanya dirapatkan mencoba menghalangi maksudku.
“Mau apa Rid,.. jangan di sini ah nanti ketahuan orang,” katanya lirih.
“Ah, tidak apa-apa gelap kok. Orang-orang juga sudah pada tidur dan tidak bakalan kedengaran karena hujannya makin besar.”
Hujan saat itu memang semakin deras.Entah karena mempercayai omonganku.
Atau karena nafsunya yang juga sudah memuncak terbukti dengan semakin
membanjirnya cairan di lubang kemaluannya, ia mau saja ketika celananya
kutarik ke bawah. Bahkan ia menarik celana dalamnya ketika aku kesulitan
melakukannya. Ia juga membantu membuka dan menarik celana pendek dan
celana dalam yang kukenakan.
Akhirnya, dengan hanya menyingkap
daster yang dikenakannya aku mulai menindih tubuhnya yang berposisi
mengangkang. Karena dilakukan di dalam gelap dan tetap dibalik selimut
tebal yang kupakai bersama untuk menutupi tubuh, awalnya cukup sulit
untuk mengarahkan penisku ke lubang kenikmatannya. Namun berkat
bimbingan tangan lembutnya, ujung penisku mulai menemukan wilayah yang
telah membasah. Slep.. penis besarku berhasil menerobos dengan mudah
liang sanggamanya.
Aku mulai menggoyang dan memaju-mundurkan
senjataku dengan menaik-turunkan pantatku. Basah dan hangat terasa
setiap penisku membenam di vaginanya. Sementara sambil terus meremasi
kedua buah dadanya secara bergantian, sesekali bibirnya kulumat. Maka ia
pun melenguh tertahan, melenguh dan mengerang tertahan. Ah, dugaanku
memang tidak meleset tubuhnya memang masih menjanjikan kehangatan.
Kehangatan yang prima khas dimiliki wanita berpengalaman.
Dihujam
bertubi-tubi oleh ketegangan penisku di bagian kewanitannya, Ia mulai
mengimbangi aksiku. Pantat besar besarnya mulai digerakkan memutar
mengikuti gerakan naik turun tubuhku di bagian bawah. Memutar dan terus
memutar dengan gerak dan goyang pinggul yang terarah. Hal itu menjadikan
penisku yang terbenam di dalam vaginanya serasa diremas. Remasan nikmat
yang melambungkan jauh anganku entah kemana. Bahkan sesekali otot-otot
yang ada di dalam vaginanya seolah menjepit dan mengejang.
“Ah,.. ah.. enak sekali. Terus, ah.. ah,”
“Aku juga enak Rid, uh.. uh.. uh. Sudah lama sekali tidak merasakan
seperti ini. Apalagi punyamu keras dan penjang. Auh,.. ah.. ah,”
Sampai akhirnya, aku menjadi tidak tahan oleh goyangan dan remasan
vaginanya yang kian membanjir. Nafsuku kian naik ke ubun-ubun dan seolah
mau meledak. Gerakan bagian bawah tubuhku kian kencang mencolok dan
mengocok vaginanya dengan penisku.
“Aku tidak tahan, ah.. ah.. Sepertinya mau keluar, shh, ah, .. ah,”
“Aku juga Rid, terus goyang, ya .. ya,.. ah,”
Setelah mengelojot
dan memuntahkan segala yang tak dapat kubendungnya, aku akhirnya ambruk
di atas tubuh wanita itu. Maniku cukup banyak menyembur di dalam lubang
kenikmatannya. Begitupun Ia, setelah kontraksi otot-otot yang sangat
kencang, ia meluapkan ekspresi puncaknya dengan mendekap erat tubuhku.
Dan bahkan kurasakan punggungku sempat tercakar oleh kuku-kukunya. Cukup
lama kami terdiam setelah pertarungan panjang yang melelahkan.
“Semestinya kita tidak boleh melakukan itu ya Rid. Apalagi bapak lagi
sakit dan tengah dirawat,” kata Ia sambil masih tiduran di dekatku.
Aku mengira ia menyesal dengan peristiwa yang baru terjadi itu.
“Ya Maaf,.. soalnya tadi,..”
“Tetapi tidak apa-apa kok. Saya juga sudah lama ingin menikmati yang
seperti itu. Soalnya sejak 5 tahun lebih Pak Har terkena diabetis, ia
menjadi sangat jarang memenuhi kewajibannya. Bahkan sudah dua tahun ini
kelelakiannya sudah tidak berfungsi lagi. Cuma, kalau suatu saat ingin
melakukannya lagi, kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu dan
menimbulkan aib diantara kita,” ujarnya lirih.
Plong, betapa lega
hatiku saat itu. Ia tidak marah dan menyesal dengan yang baru saja
terjadi. Dan yang membuatku senang, aku dapat melampiaskan hasrat
terpendamku kepadanya. Kendati aku merasa belum puas karena semuanya
dilakukan di kegelapan hingga keinginanku melihat ketelanjangan tubuhnya
belum kesampaian.
Dan seperti yang dipesankannya, aku berusaha mencoba bersikap sewajar
mungkin saat berada diantara orang-orang. Seolah tidak pernah terjadi
sesuatu yang luar biasa diantara kami. Kendati aku sering harus menekan
keinginan yang menggelegak akibat darah mudaku yang gampang panas saat
berdekatan dengannya. Dan sejak itu lokasi teras di belakang kamar mayat
menjadi saksi sekitar tiga kali hubungan sumbang kami. Hubungan sumbang
yang terpaksa kuhentikan seiring kedatangan Bu Hartini, adik Pak
Harjono yang bermaksud menengok kondisi sakit kakaknya. Hanya terus
terang, sejak kehadirannya ada perasaan kurang senang pada diriku. Sebab
sejak Ia ada yang menemani merawat suaminya di rumah sakit, kendati aku
tetap diminta untuk membantu mereka dan selalu berada di rumah sakit,
aku tidak lagi dapat menyalurkan hasrar seksualku. Hanya sesekali kami
pernah nekad menyalurkannya di kamar mandi ketika hasrat yang ada tak
dapat ditahan. Itu pun secara kucing-kucingan dengan Bu Tini dan
segalanya dilaksanakan secara tergesa-gesa hingga tetap tidak memuaskan
kami berdua.
Sampai suatu ketika, saat Pak Har telah siuman dan
perawatannya telah dialihkan ke bangsal perawatan yang terpisah, Bu Tini
menyarankan kepada Ia untuk tidur di rumah.
“Kamu sudah beberapa hari kurang tidur Mbak, kelihatannya sangat
kelelahan. Coba kamu kalau malam tidur barang satu dua hari di rumah
hingga istirahat yang cukup dan tidak jatuh sakit. Nanti kalau
kedua-duanya sakit malah merepotkan. Biar yang nunggu Mas Har kalau
malam aku saja diteman Dik Rido kalau mau” ujarnya.
Ia setuju dengan saran adik iparnya. Ia memutuskan untuk tidur di rumah
malam itu. Maka hatiku bersorak karena terbuka peluang untuk
menyetubuhinya di rumah. Tetapi bagaimana caranya pamit pada Bu Tini?
Kalau aku ikut-ikutan pulang untuk tidur di rumah apa tidak mengundang
kecurigaan? Aku jadi berpikir keras untuk menemukan jalan keluar. Dan
baru merasa plong setelah muncul selintas gagasan di benakku.
Sekitar
pukul 22.00 malam, lewat telepon umum kutelepon rumahnya. Wanita itu
masih terjaga dan menurut pengakuannya tengah menonton televisi. Maka
nekad saja kusampaikan niatku kepadanya. Dan ternyata ia memberi
sambutan cukup baik.
“Kamu nanti memberi tanda kalau sudah ada di dekat kamar ibu ya. Nanti
pintu belakang ibu bukakan. Dan sepeda motornya di tinggal saja di rumah
sakit biar tidak kedengaran tetangga. Kamu bisa naik becak untuk
pulang,” katanya berpesan lewat telepon.
Untuk tidak mengundang kecurigaan, sekitar pukul 23.00 aku masuk ke
bangsal tempat Pak Har dirawat menemani Bu Tini. Namun setengah jam
sesudahnya, aku pamit keluar untuk nongkrong bersama para Satpam rumah
sakit seperti yang biasa kulakukan setelah kedatangan Bu Tini. Di depan
rumah sakit aku langsung meminta seorang abang becak mengantarku ke
kampungku yang berjarak tak lebih dari satu kilometer. Segalanya
berjalan sesuai rencana. Setelah kuketuk tiga kali pintu kamarnya,
kudengar suara Ia berdehem. Dan dari pintu belakang rumah yang
dibukakannya secara pelan-pelan aku langsung menyelinap masuk menuju
ruang tengah rumah tersebut.
Rupanya, bertemu di tempat terang
membuat kami sama-sama kikuk. Sebab selama ini kami selalu berhubungan
di tempat gelap di teras kamar mayat. Maka aku hanya berdiri mematung,
sedang Ia duduk sambil melihat televisi yang masih dinyalakannya. Cukup
lama kami tidak saling bicara sampai akhirnya Ia menarik tanganku untuk
duduk di sofa di sampingnya. Setelah keberanianku mulai bangkit, aku
mulai berani menatapi wanita yang duduk di sampingku. Ia ternyata telah
siap tempur. Terbukti dari daster tipis menerawang yang dikenakannya,
kulihat ia tidak mengenakan Bra di baliknya. Maka kulihat jelas
payudaranya yang membusung. Hanya, ketika tanganku mulai bergerilya
menyelusuri pangkal paha dan meremasi buah dadanya ia menolak halus.
“Jangan di sini Rid, kita ke kamar saja biar leluasa,” katanya lirih.
Ketika kami telah sama-sama naik ke atas ranjang besar di kamar yang
biasa digunakan oleh suami dan dia, aku langsung menerkamnya. Semula Ia
memintaku mematikan dulu saklar lampu yang ada di kamar itu, tetapi aku
menolaknya. “Saya ingin melihat semua milikmu,” kataku.
“Tetapi aku malu Rid. Soalnya aku sudah tua,.”
Persetan dengan
usia, dimataku, Ia masih menyimpan magnit yang mampu menggelegakkan
darah mudaku. Sesaat aku terpaku ketika wanita itu telah melolosi
dasternya. Dua buah gunung kembarnya yang membusung nampak telah
menggantung. Tetapi tidak kehilangan daya pikatnya. Buah dada yang putih
mulus dan berukuran cukup besar itu diujungnya terlihat kedua pentilnya
yang berwarna kecoklatan. Indah dan sangat menantang untuk diremas.
Maka setelah aku melolosi sendiri seluruh pakaian yang kukenakan,
langsung kutubruk wanita yang telah tiduran dalam posisi menelentang.
Kedua payudaranya kujadikan sasaran remasan kedua tanganku. Kukulum,
kujilat dan kukenyot secara bergantian susu-susunya yang besar
menantang. Kesempatan melihat dari dekat keindahan buah dadanya membuat
aku seolah kesetanan. Dan Ia, wanita berhidung bangir dengan rambut
sepundak itu menggelepar. Tangannya meremas-remas rambut kepalaku
mencoba menahan nikmat atas perbuatan yang tengah kulakukan.
Dari
kedua gunung kembarnya, setelah beberapa saat bermain di sana, dengan
terus menjulurkan lidah dan menjilat seluruh tubuhnya kuturunkan
perhatianku ke bagian perut dan di bawah pusarnya. Hingga ketika lidahku
terhalang oleh celana dalam yang masih dikenakannya, aku langsung
memelorotkannya. Ah, vaginanya juga tak kalah indah dengan buah dadanya.
Kemaluan yang besar membusung dan banyak ditumbuhi rambut hitam lebat
itu, ketika kakinya dikuakkan tampak bagian dalamnya yang memerah. Bibir
vaginanya memang nampak kecoklatan yang sekaligus menandakan bahwa
sebelumnya telah sering diterobos kemaluan suaminya. Tetapi bibir
kemaluan itu belum begitu menggelambir. Dan kelentitnya, yang ada di
ujung atas, uh,.. mencuat menantang sebesar biji jagung.
Tak tahan
cuma memelototi lubang kenikmatan wanita itu, mulailah mulutku yang
bicara. Awalnya mencoba membaui dengan hidungku. Ah, ada bau yang meruap
asing di hidungku. Segar dan membuatku tambah terangsang. Dan ketika
lidahku mulai kumainkan dengan menjilat-jilat pelan di seputar bibir
vaginanya besar itu, Ia tampak gelisah dan menggoyang-goyang kegelian.
“Ih,.. jangan diciumi dan dijilat begitu Rid. Malu ah, tapi, ah..ah.. ah,”
Tetapi ia malah menggoyangkan bagian bawah tubuhnya saat mulutku
mencerucupi liang nikmatnya. Goyangannya kian kencang dan terus
mengencang. Sampai akhirnya diremasnya kepalaku ditekannya kuat-kuat ke
bagian tengah selangkannya saat kelentitnya kujilat dan kugigit kecil.
Rupanya ia telah mendapatkan orgasme hingga tubuhnya terasa mengejang
dan pinggulnya menyentak ke atas.
“Seumur hidup baru kali ini
vaginaku dijilat-jilat begitu Rid, jadinya cepat kalah. Sekarang gantian
deh Aku mainkan punyamu,” ujarnya setelah sebentar mengatur nafasnya
yang memburu.
Aku dimintanya telentang, sedang kepala dia berada di bagian bawah
tubuhku. Sesaat, mulai kurasakan kepala penisku dijilat lidah basah
milik wanita itu. Bahkan ia mencerucupi sedikit air maniku yang telah
keluar akibat nafsu yang kubendung. Terasa ada senasi tersendiri oleh
permainan lidahnya itu dan aku menggelinjang oleh permainan wanita itu.
Namun sebagai anak muda, aku merasa kurang puas dengan hanya bersikap
pasif. Terlebih aku juga ingin meremas pantat besarnya yang montok dan
seksi. Hingga aku menarik tubuh bagian bawahnya untuk ditempatkan di
atas kepalaku. Pola persetubuhan yang kata orang disebut sebagai
permainan 69. Kembali vaginanya yang berada tepat di atas wajahku
langsung menjadi sasaran gerilya mulutku. Sementara pantat besarnya
kuremas-remas dengan gemas.
Tidak hanya itu jilatan lidahku tidak
berhenti hanya bermain di seputar kemaluannya. Tetapi terus ke atas dan
sampai ke lubang duburnya. Rupanya ia telah membersihkannya dengan sabun
baik di kemaluannya maupun di anusnya. Maka tak sedikit pun meruap bau
kotoran di sana dan membuatku kian bernafsu untuk menjilat dan
mencoloknya dengan ujung lidahku. Tindakan nekadku rupanya membuat
nafsunya kembali naik ke ubun-ubun. Maka setelah ia memaksaku
menghentikan permainan 69, ia langsung mengubah posisi dengan telentang
mengangkang. Dan aku tahu pasti wanita itu telah menagih untuk
disetubuhi. Ia mulai mengerang ketika batang besar dan panjang milikku
mulai menerobos gua kenikmatannya yang basah. Hanya karena kami
sama-sama telah memuncak nafsu syahwatnya, tak lebih dari 10 menit
saling genjot dan menggoyang dilakukan, kami telah sama-sama terkapar.
Ambruk di kasur empuk ranjang kenikmatannya. Ranjang yang semestinya
tabu untuk kutiduri bersama wanita itu.
Malam itu, aku dan dia
melakukan persetubuhan lebih dari tiga kali. Termasuk di kamar mandi
yang dilakukan sambil berdiri. Dan ketika aku memintanya kembali yang
keempat kali, ia menolaknya halus.
“Tubuh ibu cape sekali Rid, mungkin sudah terlalu tua hingga tidak dapat
mengimbangi orang muda sepertimu. Dan lagi ini sudah mulai pagi, kamu
harus kembali ke rumah sakit agar Bu Tini tidak curiga,” katanya.
Aku sempat mencium dan meremas pantatnya saat Ia hendak menutup pintu
belakang rumah mengantarku keluar. Ah,.. indah dan nikmat rasanya.
Usia
Pak Har ternyata tidak cukup panjang. Selama sebulan lebih dirawat di
rumah sakit, ia akhirnya meninggal setelah sebelumnya sempat dibawa RS
yang lebih besar di Semarang. Di Semarang, aku pun ikut menunggui
bersamanya serta Bu Tini selama seminggu. Juga ada Mbak Dewi dan
suaminya yang menyempatkan diri untuk menengok. Hingga hubunganku dengan
keluarga itu menjadi kian akrab.
Namun, hubungan sumbangku
dengannya terus berlanjut hingga kini. Bahkan kami pernah nekad
bersetubuh di belakang rumah keluarga itu, karena kami sama-sama horny
sementara di ruang tengah banyak sanak famili dari keluarganya yang
menginap. Entah kapan aku akan menghentikannya, mungkin setelah
gairahnya telah benar-benar padam.TAMAT
Posted by : Bandar Poker Terpercaya
- Home>
- Agen , Agen Bandar Poker , Agen Judi Ceme Terpercaya , Agen Judi Online , Agen Judi Poker , Agen Judi Terbaik , Agen Judi Termantap , Agen judi terpercaya , Agen Poker Online , Agen Poker Terbaik >
- Gairah Tante Sange Kesepian Pengen Ngentot
